Friday 31 December 2010

Leukemia Kronik

LEUKEMIA KRONIK



ETIOLOGI
Penyebab penyakit tidak diketahui secara pasti. Sama seperti tipe leukemia yang lainnya, leukemia berasal dari mutasi yang terjadi pada spesifik protein yang disebut juga dengan gen yang mengkontrol perkembangan dan pertumbuhan dari sel darah. Akibatnya sel berkembang dan bertumbuh tidak terkontrol.


LEUKEMIA LIMFOBLASTIK KRONIK


Leukemia limfoblastik leukemia (LLK) adalah gangguan pada monoklonal yang dikarakteristikkan dengan adanya proliferasi limfosit B meskipun proliferasi dari limfosit T terjadi tetapi sangat jarang. Pada leukemia ini limfosit diproduksi tetapi tidak berfungsi, dan berakumulasi di dalam darah, sumsum tulang dan jaringan limfa. Setiap individu berbeda dalam jumlah akumulasi. Biasanya leukemia ini banyak terjadi di negara-negara eropa. Jenis lainnya yang dapat dimasukkan ke dalam kategori LLK adalah sindroma sezary (merupakan fusi leukemia dari mikosis fungoides) dan leukemia sel berambut (menghasilkan sejumlah besar sel darah putih yang memiliki tonjolan khas seperti rambut bila dilihat dibawah mikroskop).

GAMBARAN KLINIS

Leukemia limfoblastik kronik mempunyai bermacam-macam jenis. Banyak pasien yang tidak menunjukkan gejala menderita LLK. Gambaran klinis diantaranya letih lesu, infeksi, hilangnya berat badan, keringat malam, limfadenopati dan hepatosplenomegali. Gambaran klinis yang lain diantaranya adalah Infeksi, fatigue, limfadenopati (80%), hepatomegali/splenomegali (50%). LLK biasanya dimulai dengan limfositosis diikuti dengan limfadenopati dan kegagalan pada sumsum tulang, 10% adanya Coomb test. Adanya limfositosis adalah merupakan ciri khas dari LLK. Biasanya 75% hingga 98% sel yang beredar didalam darah adalah limfosit. Jumlah limfosit lebih dari 5000/mm3. Bentuk dari limfosit biasanya kecil dan sudah dewasa. Jumlah sel darah putih meningkat lebih dari 20.000/mm3. Sedangkan jumlah hematokrit dan trombosit biasanya normal. Lebih dari 30% limfosit menginfiltrasi sumsum tulang.

STADIUM DAN KLASIFIKASI

Menegakkan klasifikasi atau fase dari LLK sangat penting karena berguna dalam pengambilan keputusan apakah harus diterapi atau tidak serta dalam menegakkan prognosa. Ada 2 sistem yang dipergunakan dalam pengklasifikasian stadium LLK yang berdasarkan karakteristik dari sel yaitu klasifikasi RAI dan BINET. Klasifikasi RAI lebih populer dipergunakan di Amerika, klasifikasi ini mengkategorikan LLK menjadi resiko rendah, sedang dan tinggi. Sedangkan Klasifikasi Binet lebih populer di Eropa, klasifikasi ini berdasarkan jumlah jaringan limfosit yang terganggu, anemia dan trombositopenia. Klasifikasi ini sangat simpel dan berkorelasi dengan survival.

Klasifikasi RAI

Stadium Penemuan Survival

0 Hanya limfositosis
>120 bulan
I Limfositosis plus limfodenopati
95 bulan
II Limfositosis plus spleenomegali atau hepatomegali atau keduanya
72 bulan
III
Limfositosis plus anemia 30 bulan
IV
Limfositosis plus trombositopenia 30 bulan


Klasifikasi BINET

Stadium Penemuan Survival

A Hb> 10, trombosit >100 , <3 area yang terpengaruh
>120 bulan
B Hb> 10, trombosit >100 , >3 area yang terpengaruh
84 bulan
C Hb< 10, trombosit <100 , <3 area yang terpengaruh termasuk cervical, nodul axila atau inguinal, spleen atau hati.
24 bulan


DIAGNOSA

Diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah biasanya ditemukan secara tidak sengaja dengan hitung limfosit yang sangat tinggi atau disebut juga limfositosis. Menurut Mulligan (2008), penegakkan diagnosa dapat disimpulkan dari fitur pemeriksaan klinis dan fitur pemeriksaan laboratorium.

I. Fitur Pemeriksaan Klinis.
Ditemukan adanya limfadenopati dan hepatosplenomegali yang mengakibatkan infeksi, autoimunitas dan transformasi.

II. Fitur Pemeriksaan Laboratorium.
a. Morfologi – pada pemeriksaan hitung darah lengkap mungkin ditemukan adanya abnormalitas pada ukuran dan bentuk dari sel darah. Hitung sel darah merah, sel darah putih dan trombosit juga menunjukkan adanya perbedaan. Trombositopenia dan anemia biasanya terjadi pada penyakit yang sudah lanjut. Lebih dari 90% bentuk dari limfosit berukuran kecil atau sedang.
b. Fenotipe – adalah test yang dipergunakan untuk mendeteksi antigen yang ditemukan pada permukaan disekitar sel (surface). Antigen sering diidentifikasikan sebagai Cluster Differentiation (CD), diikuti oleh nomer. Contohnya adalah CD19, CD20, CD5 dan CD23. Test ini sebaiknya dilakukan incase jumlah limfosit rendah pada waktu penegakkan diagnosa LLK. Imunofenotipe menunjukkan adanya limfosit B, CD19, CD20 dan CD5.
c. Pemeriksaan sumsum tulang – pemeriksaan sumsum tulang dengan biopsi yang mengkonfirmasikan diagnosa dari LLK. Translokasi jarang terjadi, tetapi yang lebih sering terjadi adalah delesi. Kromosom yang terganggu adalah 13q (berkisar 55%), 11q (18%), trisomi 12q (16%), 17p (7%), 6q (6%) dan normal sitogenetik sekitar 18%. Delesi kromosom 11q dan 17p berhubungan dengan prognosa yang buruk dan berkembang pesat. Sedangkan delesi kromosom 13q berhubungan dengan prognosa yang baik serta survival yang lama. Prognostik Marker CD38, menunjukkan LLK yang agresif.

Pemeriksaan lain yang dibutuhkan dan cukup bermanfaat adalah:
1. Direct Antiglobulin Test (DAT) – pemeriksaan ini sangat penting pada semua pasien anemik dan sebelum terapi dilaksanakan.
2. Hitung Retikulosit
3. Fungsi ginjal dan hati
4. Serum protein elektroporesis – adanya peningkatan. Tingkat serum imunoglobulin dalam darah – Hipogammaglobulinemia, hampir setengah populasi menderita, pada stadium lanjut hampir semua pasien menderita. Bila seseorang tingkat antibodinya rendah, orang tersebut dapat lebih mudah menderita sakit. Oleh karena itu transfusi imunoglobulin mungkin bermanfaat bagi pasien. Adanya mutasi pada imunoglobin rantai berat (heavy chain) - prognosa buruk.
5. Meningkatnya jumlah limfosit 2 kali lipat dalam satu tahun mempunyai surival yang lebih rendah dibandingkan dengan meningkatnya limfosit 2 kali lipat lebih dari 1 tahun
6. Pemeriksaan Xray pada paru-paru
7. Biopsi nodul limfa – dalam beberapa kasus pemeriksaan biopsi pada limfa mungkin dibutuhkan untuk membedakannya dengan limfoma atau bila dicurigai telah bertransformasi ke limfoma.
8. CT (Computerisec Axial Tomography) Scan – berguna bila dicurigai adanya splenomegali pada pemeriksaan fisik untuk mengkonfirmasikannya.
PROGNOSA

Prognosa tergantung dari area yang terpengaruh serta hasil pemeriksaan sel darah merah dan trombosit. Stadium A, merupakan stadium awal  tidak memperlihatkan gejala, nil terapi. Stadium B dan C membutuhkan terapi. Sepertiga dari LLK tidak membutuhkan terapi dan dapat hidup lebih dari 10 tahun, sedangkan sepertiga lagi berproses ke stadium berikutnya dan membutuhkan terapi, sisanya agresif dan membutuhkan terapi setelah didiagnosa. Tidak ada terapi dapat menyembuhkan LLK. Tujuan utama adalah mengkontrol simptom dan kemungkinan memperpanjang usia. Berkisar 5% Penderita LLK berkembang menjadi Large Cell Lymphoma yang sangat agresif. Prognosa pada pasien ini buruk dan hanya 5 bulan survival.


Baik Buruk
Jenis Kelamin
Perempuan Laki-laki
Stadium
A B, C
Limfosit waktu doubling
> 1 tahun < 6 bulan
ZAP 70
Negative Positive
Mutasi Somatik
Mutasi Germline
Sitogenetika
13q delesi Trisomi 12, delesi p53


PENATALAKSANAAN LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIK

Terapi pada Leukemia Limfositik Kronik tergantung dari stadium dari penyakitnya, mulai dari hanya mengobservasi hingga kemoterapi dan transplantasi sumsum tulang. Pada stadium awal (RAI I & II serta BINET A) tindakan hanya mengobservasi. Terapi dimulai ketika pasien mulai mengalami simptom dari penyakitnya. Pada stadium lanjut (RAI III & IV serta BINET A & B) dibutuhkan terapi. Terapi termaksud kemoterapi baik single maupun kombinasi, monoklonal antibodi, transplantasi sumsum tulang dan dosis rendah radioterapi. Pada pasien ini imun sistem mungkin terganggu, oleh karena itu antibiotik dan anti jamur mungkin dibutuhkan. Selain itu penggunaan immunoglobulin juga diberikan untuk meningkatkan sistem imunitas dan mencegah infeksi.

Chlorambucil(Leukeran)
Adalah kemoterapi oral jenis alkylating yang mana dipergunakan lebih dari 40 tahun dalam mengobati LLK.

Fludarabine
Adalah terapi standar yang dipergunakan untuk mengatasi LLK yang berprogresif.

Alemtuzumab (Campath)
Adalah recombinant antibodi monoklonal yang secara langsung melawan CD52. CD52 adalah ekspresi normal pada lapisan luar (surface) limfosit B dan T yang malignan, sel natural killer, monosit.

Rituximab
recombinant antibodi monoklonal yang secara langsung ke reseptor CD20.

Terapi radiasi
Pada dosis rendah, radiasi pada spleen menolong mengkontrol simptom dari LLK dari beberapa bulan hingga beberapa tahun.

Transplantasi sumsum tulang
Pasien yang berusia lebih muda mungkin mendapatkan manfaat dari terapi ini dengan memungkinkan untuk sembuh total, baik dengan regim mieoblatif maupun non mieoblatif.

Contoh Protokol Leukemia Limfositik Kronik

Chlorambucil 6mg/m2 D1-7 PO

Chlorambucil 4-5mg/m2 D1-14 PO
+/- Prednisone 5-25mg/hari D1-14 PO

FC
Fludarabine 25mg/m2 D1-5 IV diberikan lebih dari 30 menit
Cyclophosphamide 600-750mg/m2 D1 IV diberikan lebih dari 1 jam
Diberikan setiap 4 minggu sesuai dengan kebutuhan

Fludarabine 25mg/m2 D1-5 IV diberikan lebih dari 30 menit
Diberikan setiap 4 minggu untuk 4-6 siklus

FMD
Fludarabine 25mg/m2 D1-5 IV diberikan lebih dari 30 menit
Mitozantrone D1 IV diberikan lebih dari 1 jam
Dexamethasone

Alemtuzumab (Campath)
Alemtuzumab 30mg 3 x seminggu S/C
Berikan Diphenhydramine 50mg per oral dan Paracetamol 1gr per oral 30menit sebelum pemberian Alemtuzumab.

FMC
Fludarabine 25mg/m2 D1-3 IV diberikan lebih dari 1 jam
Mitozantrone 8mg/m2 D1 IV diberikan lebih dari 15 menit
Cyclophosphamide 200mg/m2 D1-3 IV diberikan lebih dari 1 jam



LEUKEMIA MIEOBLASTIK KRONIS


Leukemia mieloid kronis adalah gangguan yang tidak hanya meningkatnya sel mieloid di dalam darah tepi (periperal), tetapi juga meningkatnya sel eritrosit dan trombosit (keping darah).
Lebih dikenal dengan gangguan mieloproliferatif yang ditandai dengan meningkatnya neutrofil dari para prekursornya, akibatnya granulosit didalam sumsum tulang meningkat. Lebih dari 95% dari pasien mempunyai kromosom Philadelphia.

PATOGENESIS

Patogenesis dari LMK berhubungan dengan adanya kromosom yang abnormal yaitu adanya translokasi atau pertukaran antara 2 kromosom panjang 9 dan 22 yang disebut juga t(9;22). Translokasi mungkin terjadi pada tingkat sitogenetik atau pada tingkat molekul. Konsekuensi dari molekular dari translokasi ini menyebabkan terjadinya fusi protein BCR-ABL. Gen ini membuat kode protein 210-kDa yang membuat aktifitas tyrosine Kinase meningkat.
Fusi protein ini merupakan sitoplasmik aktif tyrosine kinase yang memediasi transformasi leukemia. Tyrosine Kinase sendiri adalah enzyme yang berpengaruh dalam tranduksi signal sellular. Gen Abl terletak di kromosom 9 dan diterima di tempat yang spesifik di kromosom 22 Bcr (Breakpoint cluster). Dalam kondisi normal protein Abl berpengaruh dalam proses perkembangan dan diferensiasi dari sel dan apoptosis (sel mati secara normal). Sedangkan fungsi dari protein Bcr secara normal tidak diketahui secara pasti. Pada LMK fusi dari Bcr dan Abl menyebabkan Abl tyrosine kinase menjadi aktif terus menerus tanpa dapat terkontrol oleh regulasi normal dari mekanisme sel.

GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis tergantung dari fase LMK. Pada fase kronik, tanda dan gejala diantaranya letih dan lesu, hilangnya berat badan, keringat, anoreksia dan pallor, serta spleenomegali yang menyebabkan nausea dan kembung. Bahkan 20% pasien tidak ada tanda dan gejala pada saat didiagnosa.

KLASIFIKASI DAN FASE PENYAKIT

Tidak ada klasifikasi yang spesifik pada LMK, hanya dapat dikategorikan dalam 3 fase perkembangannya.

Fase Kronik Indolent, kurang dari 5% sel blast dan pro mielosit (imatur granulosit) didalam darah dan sumsum tulang.

Fase Akselerasi Fase dimana pasien bertambah sakit. Sel blast berkisar 5 hingga 30% pada sumsum tulang atau darah tepi.
Basofil dalam darah lebih dari 20%
Trombositepenia tetap persisten, yang mana bukan diakibatkan oleh efek samping dari terapi.

Fase Krisis atau fase blast Fase paling berat. Lebih dari 30% sel blast didalam darah dan sumsum tulang. Pada fase ini LMK mungkin akan berubah menjadi LMA (70%) atau LLA (30%). Bila tidak ditangani akan berakibat fatal.



DIAGNOSA

Biasanya dari hasil pemeriksaan darah sudah dapat dilihat gambaran penyakitnya dengan mengevaluasi jumlah sel darah. Pada pemeriksaan darah peripheral didapati meningkatnya jumlah sel darah putih khususnya granulosit yang sudah dewasa. Konfirmasi LMK biasanya didapatkan dari pemeriksaan sumsum tulang. Sel blast atau sel leukemia ditemukan lebih dari 30% dari seluruh nukleus sel di sumsum tulang. Dengan pemeriksaan FISH serta PCR, sel leukemia dapat dideteksi yang mungkin dengan analisa mikroskopik tidak terdeteksi. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi fusi protein BCR-ABL.

Pemeriksaan imunofenotipe dipergunakan untuk mendiagnosa dengan mempergunakan antibodi-antibodi monoklonal untunk mengidentifikasi sel surface antigen yang spesifik yang biasanya ditemukan pada tipe sel leukemia yang spesifik.

Antigen-antigen tersebut membantu dalam membedakan dari garis mana sel leukemia berkembang. Sel yang sering ditemukan pada LMA diantaranya adalah CD13, CD33 (mioblast dan monoblast), CD14 (monoblast). Pemeriksaan sitogenetik pada sumsum tulang menunjukkan adanya kromosom Philadelphia dan 95% penderita menderita kromosom ini.

PROGNOSA

Angka harapan hidup cukup rendah sebelum terapi imatinib ditemukan.

PENATALAKSANAAN LEUKEMIA MIELOBLASTIK KRONIK

Tujuan terapi pada LMK dapat dibagi menjadi 3 tingkatan respon:
1. Respon hematologi –> semua hitung sel darah dalam keadaan normal atau kembali ke normal.
Respon hematologi komplit : hitung trombosit < 450 x 10 9/L. Hitung sel darah putih <10 x 10 9/L. Pada diferensial tidak ditemukan adanya sel granulosit yang imatur dan basofil , 5%

2. Respon Sitogenetika –> menghilangkan atau menurunkan kromosom philadelphia dari sumsum tulang. Respon sitogenetika komplit artinya metafase philadelphia positive 0%. Sedangkan 1-35% meruapkan respon sitogenetika sebagian diikuti oleh minor (36-65%) dan minimal (66-95%).
3. Respon Molekul –> mengeliminasi fusi protein Bcr- Abl hingga tidak terdeteksi lagi pada test PCR. Didapatkannya respon molekul berhubungan dengan survival dari pasien. Respon molekular komplit artinya tidak terdeteksi adanya transkripsi pada DNA, sedangkan respon molekular major sekitar 0,1%.
Respon terhadap sitogenetik dan molekul berhubungan dengan panjangnya waktu remisi. Terapi tergantung fase dari penyakit, umur, status kesehatan dan tersedianya donor sel stem. Pada fase kronik, tujuan utama adalah mengkontrol penyakit, memperpanjang fase ini dan memperlambat komplikasi dan simptom. Pada orang dewasa standar praktek LMK adalah penggunaan Imatinib 400 mg per hari. Imatinib (Glivec), adalah inhibitor yang spesifik pada tyrosine kinase yang membuat encode Bcr-Abl.

Selain itu radioterapi pada limfa berguna untuk mengurangi jumlah sel leukemia. Sedangkan Splenektomi juga berguna untuk mengurangi rasa tidak nyaman pada abdomen.

Hydroxyurea
Sebelum ditemukannya imatinib, hydrosyurea merupakan salah satu terapi konvensional pada LMK. Kemoterapi ini diberikan secaral oral. Berguna dalam mengkontrol jumlah sel darah putih dan mengecilkan spleen yang membesar akibat dari LMK, juga berguna menghilangkan simptom akibar dari LMK.
Walaupun hydroxyurea dapat mengkontrol jumlah sel darah putih dan splenomegali, tetapi tidak merubah respon sitogenetka. Akibanya setiap tahun 25% dari fase kronik menjadi fase blast dengan median survival 4 tahun.

Alfa Interferon
Dibandingkan dengan hydroxyurea, alfa interferon dapat memperpanjang fase kronik dan memperpanjang survival. Bila dikombinasikan dengan kemoterapi, dapat lebih efektif, tetapi respon sitogenetika dan respon molekular masih jarang dicapai dengan terapi ini, bahkan tidak efektif dalam fase akselerasi dan krisis (fase blast).

Imatinib Mesylate (Gleevec)
Imantinib adalah terapi target, yang artinya bekerja langsung ke target yang diinginkan. Terapi merupakan inhibitor pada BCR-Abl tyrosine kinase dan dipergunakan sebagai standard dari terapi. Imatinib merupakan pilihan pertama dan yang terbaik untuk terapi LMK pada saat sekarang ini. Terapi ini menggantikan Hydroxyurea dan Alfa-Interferon. Diberikan secara oral dengan dosis 400mg pada fase kronik, dan 600mg pada fase akselerasi dan krisis.

Bila pasien tidak mendapatkan respon hematologik selama 3 bulan, atau respon sitogenetika selama 6 bulan atau respon sitogenetika komplit selama 9 bulan, dosis dapat ditingkatkan ke 600mg perhari. Bila tetap tidak ada respon selama 3 bulan dosis dapat ditingkatkan ke 800mg perhari (400mg dua kali sehari) atau penggunaan alternatif terapi.
Dengan terapi ini survival lebih dari 5 tahun meningkat dari 50% menjadi 90% (Fuerst, 2009).

Penggunaan transplantasi sumsum tulang secara allogeneik pada pasien dibawah umur 50 tahun, pada saat sekarang ini masih dalam investigasi yang mana sebelumnya merupakan terapi standard.

Bila pasien gagal dalam awal terapi dengan Imatinib, beberapa hal yang dapat dilakukan yang direkomendasikan oleh British Committe for Standard in Haematology adalah:
1. Tingkatkan dosis dari Imatinib.
2. Ganti ke generasi terbaru dari TKI’s seperti Dasatinib, Nilotinib, Bosutinib atau MK-0457.
3. Transplantasi sumsum tulang secara Allogenik.
4. Kemoterapi seperti, Cytarabine, Hydroxyurea, Busulphun.
5. Tindakan Ekperimental.
6. Transplantasi sumsum tulang secara Autograft, yang mana sel stem diambil pada saat pasien dalam remisi komplit.
7. Imunoterapi.
Adanya resistensi terhadap imatinib mungkin diakibatkan oleh terjadinya mutasi genetik pada BCR-ABL, meningkatnya produksi BCR-ABL atau terjadinya aktifasi BCR-ABL secara independent (Baver & Romvari, 2009). Generasi terbaru TKI’s, Nilotinib dan dasatinib mempunyai respon sitogenetika lebih cepat dibandingkan generasi sebelumnya (Fuerst, 2009). Dasatinib sudah disetujui untuk terapi LMK yang resisten terhadap imatinib. Nilotinib, lebih potent dari imatinib, pada fase kronik dan akselerasi bila resistent terhadap imatinib (Baver & Romvari, 2009). Belum ada solusi yang terbaik untuk mutasi T3151 (Fuerst, 2009).

Contoh protokol terapi pada LMK
Hydroxyurea 0.5 – 3 gram dua kali sehari PO Hentikan bila hitung sel darah putih kurang dari 10x10.9/L.
Imatinib 400 mg/hari pada fase kronik PO -
Imatinib 600 mg/hari pada fase akselerasi PO -
Cytarabine dosis 20mg/m2 S/C D1-10, diberikan setiap 28 hari

No comments:

Post a Comment